Transformasi Budaya Berkelanjutan: Pelestarian Nilai Tradisional dalam Integrasi Global dan Inovasi Modernitas



Oleh :

1.1. Prof. Dr. Robert Sibaranim, M.S (Ketua Lembaga Penelitian, Universitas Sumatera Utara, antropolinguistik (antropologi linguistik atau linguistik antropologi) sebuah bidang ilmu interdisipliner yang mengkaji bahasa dalam kerangka kerja antropologi, mengkaji kebudayaan dalam kerangka kerja linguistik, dan mengkaji aspek-aspek lain kehidupan manusia dalam kerangka kerja bersama antara antropologi dan linguistik. Dengan bidang ilmu itu, dia menetapkan objek kajiannya terhadap tadisi lisan dan tradisi budaya untuk tujuan mengungkapkan nilai budaya dan kearifan lokal di samping objek kajian lain yang relevan dengan bahasa dan budaya. Sejak tahun 2010, dia melakukan kajian-kajian ilmiah mengenai pembentukan karakter berbasis kearifan lokal. Dengan demikian, dia belakangan ini  melakukan penelitian, menulis buku, menyajikan makalah, dan pembicara akademik tentang  kearifan lokal dan pembentukan karakter.

2.   2. Dr. Sampe Gultom, Expert in Commercial, Legal, Finance & Audit matters. 15 years experience in Oil and Gas Business. Involve in International & National Profession Organization. Active in PERADI, IAI, AIPN, KADIN, Lemhannas &  PERTINA.

3.  3. KH. Dr. Muhammad Sontang Sihotang S.Si, M.Si*.(Alumnus S-1 : Fisika USU ’88, S-2 Alumnus: Materials Science-University of Indonesia (UI) Salemba, Central Jakarta Alumnus S-3 ; Universiti Zainal Abidin (UniSZA) Kuala Terengganu, Malaysia, Bidang Kajian : Metafisika Tasawuf, Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, Prodi Fisika, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Peneliti Pusat Unggulan Ipteks Karbon & Kemenyan-Universitas Sumatera Utara (USU)-Medan, Dosen Prodi Ilmu Filsafat Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB)-Medan, Mantan Dosen Sains Fizik / Quantum Physics, Fisika Kelautan, Food & Technology Physics, Fakulti Sains dan Teknologi (FST), Universiti Malaysia Terengganu (UMT), Malaysia, Tahun 2007-2013, Mantan Dosen Fisika Kedokteran & Keperawatan, Fakultas Kedokteran & Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), d/h Salemba, Jakarta Pusat, Tahun 1996 s.d 2000. Fellowship & Training in Medical Image Processing & Computing (MIPC) @ Vrije University Brussels (VUB)-Belgium (VLIR Scholarship) & Institute Science & Medical (ISM)- Salzburg-Austria-Tahun 2000/2001, Bagian Fisika Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Tahun 2000-2004, Manager Engineering Data & Information Centre (EDIC) Engineering Centre, Fakultas Teknik – Universitas Indonesia- Depok (2005-2006), Wartawan PortalMedan News.


Disajikan : Pada Program Acara “Diskusi Panel Budaya IKA USU Jakarta dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)” Kerjasama Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara Wilayah Jakarta (IKA USU Jakarta) bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menggelar Diskusi Panel Budaya : "Merawat Budaya Sumatera Utara di Tengah Arus Modernisasi Dalam Rangka Memperkuat Bingkai Kebangsaan" Acara ini akan mempertemukan berbagai pemangku kepentingan seperti Budayawan, Akademisi, Peneliti, Praktisi Budaya, Penggiat Budaya, dan Kalangan Umum. Acara ini akan dilaksanakan pada: Hari/Tanggal: Kamis, 26 Juni 2025.

Abstrak

Artikel ini membahas dinamika transformasi budaya dari tradisi menuju modernitas dalam konteks globalisasi. Budaya sebagai identitas etnik dan warisan nilai luhur mengalami tantangan besar ketika bersentuhan dengan arus perubahan modern. Namun, modernitas tidak selalu menjadi ancaman, melainkan dapat menjadi mitra dalam pelestarian nilai budaya melalui penyederhanaan bentuk dan adaptasi inovatif. Kajian sebelumnya menunjukkan bahwa berbagai teori menyepakati pentingnya mempertahankan makna budaya sekaligus memberi ruang bagi pembaruan bentuk sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan pendekatan ini, masyarakat mampu memperkuat identitas budayanya di tengah interaksi global, menjaga nilai lokal dalam format yang lebih kontekstual dan berdaya saing. Kesimpulan utama dari artikel ini menekankan bahwa transformasi budaya bukanlah proses kehilangan, tetapi merupakan strategi untuk memperkuat eksistensi budaya di era modern.

Kata Kunci: transformasi budaya, tradisi, modernitas, globalisasi, identitas budaya

Pendahuluan

Budaya adalah warisan hidup sebuah bangsa. Ia tumbuh dari kebiasaan, kepercayaan, nilai, serta pola interaksi manusia dengan lingkungannya. Namun, budaya tidak bersifat statis. Seiring bergulirnya waktu, ia menghadapi tantangan dan perubahan—terutama di era globalisasi, di mana modernitas hadir membawa logika efisiensi, teknologi, dan nilai-nilai baru. Maka, lahirlah sebuah dinamika penting: transformasi budaya.

Kajian Sebelumnya

Kajian tentang transformasi budaya telah menjadi sorotan para ilmuwan sosial dan antropolog sejak awal abad ke-20. Clifford Geertz (1973) mengemukakan bahwa budaya bukan hanya sekumpulan tradisi, tetapi merupakan sistem makna yang terus berubah sesuai dengan konteks sosial. Transformasi budaya, menurut Geertz, adalah proses simbolik yang mencerminkan adaptasi masyarakat terhadap perubahan zaman.

Anthony Giddens (1990) dalam teorinya mengenai modernitas dan identitas menyatakan bahwa globalisasi memicu dislokasi budaya lokal, namun sekaligus memberi peluang bagi rekonstruksi identitas melalui proses refleksi dan negosiasi makna. Hal ini menunjukkan bahwa modernitas tidak sekadar menggerus tradisi, tetapi juga dapat mendorong revitalisasi nilai-nilai lokal.

Di Indonesia, Koentjaraningrat (2009) menyebut bahwa modernisasi tidak harus berarti hilangnya kebudayaan asli, melainkan suatu proses integrasi antara unsur baru dengan nilai-nilai lama. Studi-studi kontemporer juga menunjukkan bagaimana berbagai komunitas adat di Indonesia mulai mengadopsi teknologi digital untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan tradisi mereka tanpa mengubah substansinya (Arifin, 2018; Simanjuntak, 2021).

Lebih jauh, penelitian oleh Hall & du Gay (1996) dalam Questions of Cultural Identity menekankan pentingnya mempertahankan jati diri budaya di tengah mobilitas global dan arus informasi yang deras. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa transformasi budaya tidak harus berujung pada kehilangan, tetapi dapat menjadi proses kreatif dan strategis dalam memperkuat eksistensi budaya lokal di panggung dunia.

Dari berbagai kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa transformasi budaya adalah proses yang bersifat dialektis—antara pelestarian nilai dan pembaruan bentuk—yang berfungsi sebagai mekanisme bertahan dan berkembangnya identitas budaya dalam dunia modern.


State of the Art

Dalam dekade terakhir, isu transformasi budaya telah menjadi kajian strategis lintas disiplin, terutama dalam bidang antropologi budaya, sosiologi modernitas, dan studi globalisasi. Penekanan mutakhir dalam literatur ilmiah tidak lagi melihat budaya tradisional dan modernitas sebagai dua kutub yang saling menegasikan, melainkan sebagai entitas yang dapat berdialog secara kreatif.

Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa masyarakat lokal tidak lagi bersifat pasif dalam menghadapi modernitas. Mereka secara aktif menyeleksi, menyesuaikan, dan bahkan merekonstruksi tradisi mereka agar tetap relevan di tengah perubahan zaman (Inglehart & Welzel, 2005; Appadurai, 2010). Konsep "glocalization"—yakni globalisasi yang disesuaikan secara lokal—telah menjadi kerangka utama dalam melihat bagaimana nilai-nilai budaya diadaptasi tanpa kehilangan identitasnya.

Inovasi digital turut menjadi pendorong signifikan dalam transformasi budaya. Media sosial, platform video, dan teknologi dokumentasi telah memungkinkan komunitas adat untuk mengarsipkan dan menyebarkan tradisi secara luas, sekaligus memberdayakan generasi muda untuk terlibat dalam pelestarian budaya dengan pendekatan yang lebih segar dan partisipatif (UNESCO, 2023).

Di sisi lain, kritik terhadap modernisasi buta juga mengemuka. Beberapa studi menyoroti bagaimana globalisasi dapat mengancam keberlanjutan budaya lokal jika tidak dibarengi dengan kesadaran kritis dan kebijakan budaya yang adaptif (Friedman, 2007; Hannerz, 2020). Oleh karena itu, pendekatan transformatif yang menekankan pada pelestarian nilai dan penyederhanaan bentuk—seperti dikemukakan dalam artikel ini—menjadi solusi yang relevan dalam menghadapi tantangan tersebut.

Dengan merujuk pada berbagai perkembangan teoritis dan empiris ini, artikel ini hadir sebagai kontribusi penting dalam membingkai transformasi budaya sebagai strategi pelestarian yang progresif di tengah arus modernitas dan interaksi global yang semakin kompleks.


Studi Literatur

Kajian mengenai transformasi budaya telah menjadi tema utama dalam ilmu sosial dan humaniora, terutama sejak berkembangnya pemikiran tentang modernitas, globalisasi, dan identitas budaya. Para sarjana seperti Clifford Geertz (1973) memandang budaya sebagai sistem simbolik yang selalu mengalami pembentukan ulang, sehingga perubahan budaya bukanlah kemunduran, melainkan proses tafsir yang berulang seiring perubahan sosial.

Dalam konteks globalisasi, Anthony Giddens (1990) menyatakan bahwa modernitas membawa dislokasi terhadap struktur sosial tradisional, namun juga membuka ruang bagi refleksi kritis dan rekonstruksi identitas. Globalisasi menurut Giddens menciptakan apa yang disebut “disembedding mechanisms”—suatu pelepasan institusi sosial dari konteks lokal, yang menuntut budaya untuk menyesuaikan diri dalam ruang global tanpa kehilangan akarnya.

Konsep glokalisasi yang diperkenalkan oleh Roland Robertson (1995) juga menjadi kerangka penting dalam memahami bagaimana masyarakat lokal menyesuaikan tradisi dengan nilai-nilai modern, menciptakan bentuk-bentuk budaya hibrid yang kontekstual. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi tidak mati di era modern, melainkan mengalami proses adaptasi.

Penelitian lokal di Indonesia seperti yang dilakukan oleh Koentjaraningrat (2009) menekankan bahwa modernisasi seharusnya tidak menghapus unsur-unsur budaya asli. Ia mendorong pendekatan selektif terhadap unsur budaya asing yang dapat diadopsi tanpa mengorbankan nilai luhur lokal. Studi kontemporer oleh Arifin (2018) juga menggarisbawahi pentingnya teknologi digital dalam mendukung pelestarian budaya, di mana komunitas adat mulai menggunakan media sosial untuk merekam dan menyebarluaskan upacara adat, bahasa ibu, hingga seni lokal.

Lebih jauh, UNESCO (2023) mendorong integrasi teknologi dalam perlindungan warisan budaya takbenda, sebagai bagian dari agenda pembangunan berkelanjutan. Literature terbaru menekankan bahwa pelestarian nilai budaya harus bersifat transformatif, tidak hanya menjaga bentuk lama, tetapi juga menjadikannya relevan dan hidup dalam konteks modern.

Dari berbagai literatur tersebut, jelas bahwa pendekatan terhadap transformasi budaya telah berkembang dari narasi pelestarian statis menjadi narasi dinamis yang menekankan inovasi berbasis nilai. Ini menjadi dasar kuat untuk memahami bahwa menjaga budaya bukan berarti menolak perubahan, melainkan menuntut kecerdasan dalam mengelola perubahan itu sendiri.

Grand Theory

Grand theory yang mendasari pembahasan transformasi budaya dalam artikel ini bersumber dari Teori Modernisasi Sosial-Budaya dan Teori Konstruksi Sosial atas Realitas Budaya.

  1. Teori Modernisasi Sosial-Budaya

Teori ini menyatakan bahwa setiap masyarakat secara alami akan mengalami proses perubahan menuju bentuk sosial yang lebih kompleks dan rasional, seiring dengan kemajuan teknologi, pendidikan, dan struktur ekonomi (Parsons, 1951; Inglehart & Welzel, 2005). Dalam konteks ini, budaya tradisional tidak dilihat sebagai sesuatu yang tertinggal, tetapi sebagai bagian dari perjalanan menuju sistem sosial yang lebih adaptif dan fungsional dalam dunia modern.

Transformasi budaya, menurut teori ini, merupakan bagian dari upaya masyarakat untuk menyelaraskan nilai-nilai tradisional dengan tuntutan zaman modern, tanpa kehilangan akar identitasnya. Proses ini bukan berarti menolak tradisi, melainkan mereformulasikannya agar tetap relevan, kontekstual, dan fungsional.

  1. Teori Konstruksi Sosial atas Realitas Budaya

Dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966), teori ini menjelaskan bahwa realitas sosial—termasuk budaya—dibentuk, dipertahankan, dan diubah melalui proses interaksi sosial dan konstruksi makna. Dengan demikian, budaya tidak bersifat tetap, tetapi dapat dinegosiasikan dan dikonstruksi ulang sesuai dengan dinamika zaman dan konteks sosial.

Dalam perspektif ini, masyarakat memiliki agensi untuk memilih bagaimana budaya diwariskan, dimodifikasi, dan ditampilkan di hadapan dunia modern. Tradisi bukan sekadar warisan pasif, melainkan sumber daya aktif yang dapat dimodernkan melalui inovasi bentuk tanpa kehilangan substansi nilainya.


Dengan menggabungkan kedua teori besar ini, maka transformasi budaya dapat dipahami sebagai sebuah proses adaptif yang bersifat progresif, di mana masyarakat mempertahankan nilai inti tradisi sambil membuka diri terhadap inovasi modern. Inilah dasar pemikiran bahwa pelestarian budaya tidak harus kaku, tetapi dapat bersifat dinamis dan kreatif, sesuai dengan kebutuhan zaman.


Tradisi di Tengah Arus Globalisasi

Tradisi merupakan cerminan identitas etnik dan kolektif masyarakat. Ia menyimpan nilai-nilai luhur yang dibangun secara turun-temurun. Namun, dalam pusaran globalisasi, tradisi kerap kali mengalami pergeseran, bahkan terkikis. Tantangan terbesar adalah mempertahankan jati diri budaya tanpa terjebak dalam romantisme masa lalu yang stagnan.

Modernitas tidak selalu berarti penghapusan tradisi. Justru dalam konteks yang tepat, ia dapat menjadi alat untuk menyederhanakan praktik budaya tanpa menghilangkan nilai esensialnya. Inilah yang disebut sebagai “preserving the value, simplifying the implementation”—memelihara nilai, menyederhanakan bentuk.

Modernitas Sebagai Mitra Budaya

Ketika tradisi bersinggungan dengan teknologi dan pemikiran modern, maka muncullah berbagai bentuk adaptasi budaya. Upacara adat kini bisa dikemas dalam format digital, batik tradisional tampil dalam desain busana kontemporer, dan cerita rakyat dihidupkan melalui animasi. Semua ini adalah bentuk ethnicity with the touch of modernity.

Di sinilah letak pentingnya transformasi budaya: bukan menggantikan tradisi, melainkan membawanya ke ruang-ruang baru yang lebih kontekstual dan relevan. Ini bukan sekadar inovasi teknis, melainkan strategi identitas.

Memperkuat Identitas Budaya di Era Global

Dalam interaksi global, identitas budaya menjadi aset strategis. Budaya lokal yang kuat mampu menjadi fondasi bagi daya saing bangsa. Dalam lanskap dunia yang semakin homogen, keunikan budaya justru menjadi nilai jual dan kekuatan diplomasi kultural.

Kita tidak harus menolak modernitas, tetapi harus bijak menempatkan diri di dalamnya. Transformasi budaya adalah cara untuk menyatakan bahwa kita hadir dalam dunia modern, tanpa kehilangan akar nilai.


Metodologi

Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan metode studi pustaka (library research) dan analisis konseptual. Pendekatan ini dipilih untuk menggali secara mendalam dinamika transformasi budaya dari tradisi menuju modernitas dalam perspektif teoritis dan kontekstual.

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami makna, nilai, dan dinamika sosial budaya yang terjadi dalam proses perubahan budaya tradisional menuju bentuk yang lebih modern. Transformasi budaya dianalisis sebagai fenomena sosial yang kompleks dan multidimensi.

2. Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui:

  • Kajian Literatur: Penelusuran dan telaah terhadap berbagai karya ilmiah, buku teori budaya dan globalisasi, laporan UNESCO, serta artikel jurnal nasional dan internasional terkait topik transformasi budaya.
  • Dokumentasi Kontekstual: Pengamatan terhadap praktik aktual transformasi budaya di berbagai wilayah di Indonesia melalui sumber digital seperti dokumentasi visual, konten media sosial, dan laporan etnografi daring.
  • Studi Kebijakan dan Praktik: Peninjauan terhadap kebijakan pemerintah dan program lembaga kebudayaan yang berkaitan dengan pelestarian budaya dan pengembangan nilai-nilai lokal dalam konteks modernitas.

3. Metode Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan:

  • Analisis Tematik: Mengelompokkan gagasan dan teori yang relevan menjadi tema-tema utama seperti pelestarian nilai, adaptasi bentuk budaya, digitalisasi budaya, dan penguatan identitas lokal.
  • Analisis SWOT Konseptual: Menelaah kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam proses transformasi budaya berdasarkan kajian literatur dan konteks aktual.
  • Sintesis Teoritis: Mengintegrasikan temuan-temuan dari literatur dengan teori modernisasi dan konstruksi sosial untuk membangun argumentasi konseptual dan kerangka berpikir dalam menjelaskan transformasi budaya.

Metodologi ini tidak hanya memberikan dasar teoritis yang kuat, tetapi juga mencerminkan realitas empiris masyarakat Indonesia yang hidup dalam simpang jalan antara pelestarian tradisi dan arus modernitas global. Dengan demikian, artikel ini dapat menjadi refleksi sekaligus rekomendasi konseptual untuk penguatan budaya lokal dalam dunia yang terus berubah.



Analisis SWOT: Transformasi Budaya dari Tradisi ke Modernitas

Strengths (Kekuatan):

  • Kekayaan nilai budaya lokal yang bersumber dari tradisi etnik dan adat istiadat.
  • Fleksibilitas budaya lokal dalam beradaptasi terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan substansi nilai.
  • Kesadaran kolektif masyarakat tentang pentingnya identitas budaya sebagai pembeda dalam arus globalisasi.
  • Adopsi teknologi digital yang mempercepat penyebaran dan pelestarian budaya secara kreatif.

Weaknesses (Kelemahan):

  • Kurangnya dokumentasi budaya tradisional, terutama dari generasi tua ke generasi muda.
  • Minimnya dukungan kebijakan yang sistematis dalam mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pendidikan dan pembangunan nasional.
  • Risiko komersialisasi budaya yang dapat menghilangkan makna sakral dari tradisi tertentu.
  • Keterbatasan literasi digital di kalangan masyarakat adat atau komunitas terpencil.

Opportunities (Peluang):

  • Global interest terhadap budaya lokal sebagai bagian dari diplomasi budaya dan pariwisata.
  • Kemajuan teknologi informasi sebagai media dokumentasi, promosi, dan revitalisasi budaya.
  • Kolaborasi antar pemangku kepentingan (pemerintah, akademisi, komunitas, sektor swasta, dan media) dalam program pelestarian budaya.
  • Potensi budaya sebagai aset ekonomi kreatif yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Threats (Ancaman):

  • Homogenisasi budaya global yang berpotensi menyingkirkan kearifan lokal.
  • Gaya hidup instan generasi muda yang mulai menjauh dari nilai-nilai tradisi.
  • Dominasi budaya asing melalui media massa dan hiburan.
  • Konflik internal budaya akibat perbedaan tafsir terhadap makna dan fungsi tradisi dalam kehidupan modern.



Pembahasan Analisis SWOT

Transformasi budaya dari tradisi ke modernitas menghadirkan dinamika yang kompleks namun penuh peluang. Kekuatan utama terletak pada kekayaan nilai-nilai budaya lokal yang tidak lekang oleh waktu, serta adanya kesadaran masyarakat untuk tetap menjunjung identitas etnik sebagai bagian dari jati diri bangsa. Hal ini menjadi fondasi kuat dalam menjaga stabilitas budaya di tengah tekanan global.

Namun, kelemahan yang masih ditemukan, seperti rendahnya dokumentasi dan minimnya regulasi pelestarian budaya, menjadikan proses transformasi ini tidak selalu berjalan mulus. Apalagi jika budaya hanya dilihat sebagai komoditas wisata atau hiburan, tanpa pemaknaan yang mendalam terhadap akar sejarah dan nilai filosofisnya.

Peluang besar muncul dari meningkatnya minat dunia terhadap kearifan lokal serta terbukanya akses teknologi yang memungkinkan revitalisasi budaya melalui platform digital. Generasi muda yang melek teknologi dapat menjadi agen pelestarian budaya dengan pendekatan kreatif—seperti membuat konten budaya di media sosial, film pendek, dan pertunjukan virtual.

Akan tetapi, ancaman juga nyata: mulai dari penetrasi budaya asing yang sangat kuat, hingga gaya hidup global yang lebih instan dan konsumtif. Jika tidak diimbangi dengan pendidikan karakter dan penguatan narasi lokal, maka transformasi budaya justru dapat berubah menjadi disrupsi nilai.

Oleh karena itu, strategi transformasi budaya yang efektif adalah dengan menguatkan nilai lokal melalui inovasi bentuk, membangun jejaring antar aktor budaya, serta memperluas partisipasi masyarakat dalam proses pelestarian dan pengembangan budaya. Dengan pendekatan tersebut, transformasi tidak menjadi ancaman, melainkan momentum menuju kebangkitan budaya yang berakar dan berdaya saing di tingkat global.



Penutup

Kesimpulan

Transformasi budaya dari tradisi menuju modernitas merupakan proses dinamis yang tak terhindarkan dalam era globalisasi. Tradisi bukanlah sesuatu yang statis, tetapi hidup dan terus berkembang mengikuti konteks zaman. Ketika nilai-nilai luhur budaya lokal dijaga substansinya, dan bentuk pelaksanaannya disederhanakan secara kreatif, maka transformasi budaya menjadi sarana untuk memperkuat jati diri, bukan menghilangkannya.

Modernitas bukan musuh tradisi. Justru melalui sentuhan modernitas yang selektif dan bijak, warisan budaya dapat dihidupkan kembali dengan cara yang lebih inklusif dan adaptif. Teknologi, media sosial, dan inovasi kreatif dapat menjadi alat untuk merevitalisasi budaya, menyampaikannya kepada generasi muda, serta memperkenalkannya ke dunia global.

Namun, ia bukanlah proses kehilangan, melainkan penguatan. Kita dapat menyandingkan etnisitas dengan sentuhan modernitas, membingkai tradisi dalam arus globalisasi, dan memperkuat identitas budaya di tengah interaksi global.

Kuncinya : pelestarian nilai, penyederhanaan bentuk. Dengan demikian, budaya tidak hanya bertahan, tetapi terus hidup dan relevan.

Saran

  1. Generasi muda perlu diberdayakan sebagai agen pelestari budaya melalui pendekatan yang kreatif dan berbasis teknologi.
  2. Lembaga pendidikan dan media massa sebaiknya lebih aktif mengarusutamakan nilai-nilai budaya lokal dalam kurikulum dan konten publik.
  3. Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang mendukung integrasi budaya tradisional ke dalam sistem pembangunan nasional secara berkelanjutan.
  4. Komunitas budaya harus diberikan ruang untuk mengelola dan mentransformasi tradisinya secara mandiri tanpa intervensi yang mematikan makna budaya itu sendiri.

Rekomendasi

  • Diperlukan kebijakan kebudayaan nasional yang transformatif, yaitu kebijakan yang tidak sekadar melestarikan warisan budaya, tetapi juga memberi ruang bagi pembaruan dan inovasi bentuk pelaksanaan budaya.
  • Perlu dibangun platform digital budaya lokal sebagai media dokumentasi, edukasi, dan promosi warisan budaya ke tingkat nasional dan internasional.
  • Perlunya kolaborasi multipihak (pemerintah, akademisi, seniman, pelaku usaha, dan masyarakat lokal) untuk menjadikan budaya sebagai bagian integral dari pembangunan identitas bangsa dan ekonomi kreatif. (ms2)








Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak