oleh :
· · KH. Dr. Muhammad Sontang Sihotang S.Si, M.Si*.(Alumnus S-1 : Fisika USU '88, Alumnus S-3 ; Universiti Zainal Abidin (UniSZA) Kuala Terengganu, Malaysia, Bidang Kajian : Metafisika Tasawuf, Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, Prodi Fisika, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Peneliti Pusat Unggulan Ipteks Karbon & Kemenyan-Universitas Sumatera Utara (USU)-Medan, Dosen Prodi Ilmu Filsafat Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB)-Medan, Mantan Dosen Sains Fizik / Quantum Physics, Fisika Kelautan, Food & Technology Physics, Fakulti Sains dan Teknologi (FST), Universiti Malaysia Terengganu (UMT), Malaysia, Tahun 2007-2013, Mantan Dosen Fisika Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), d/h Salemba, Jakarta Pusat, Tahun 1996 s.d 2000. Mantan Wartawan / Kolumnis / Reporter, Kepala Biro dan Wilayah, Wakil Pemimpin Redaksi, Wakil Pimpinan Umum : dahulu & sekarang @ Tabloid Suara USU-Medan, Tabloid Bintang Sport Film (BSF)-Medan, Garuda-Harian Sore-Medan,Waspada-Medan,Tabloid Duta Bangsa- Jakarta, Dayak News-Palangkaraya, Kalimantan Tengah, GarudaNews - Medan, Portal Medan-Medan, Mabesnews - Jakarta, Wasantara News -Medan,Komando Top News-Medan,
· Dr. Ir. Sovian Aritonang, S.Si., M.Si.(Alumnus Fisika USU '87, Marsekal Pertama TNI AU-Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FTTP Universitas Pertahanan Republik Indonesia-Jakarta), Ketua Umum Ikatan Alumni Fisika USU (IKAFU) Pusat.
Tulisan ini di persembahkan dalam menyambut Reuni Alumni IKAFU 2025 Kampus USU-Medan & Wisma Pora-Pora Parapat, "Membangun Soliditas & Solidaritas Dalam Kebhinekaan Menuju Fisika Unggul" & Seminar Nasional "Revolusi Industri Masa Depan, Sains Sebagai Otak Penggeraknya" ,(Tanggal, 30 - 31 Mei 2025)
Abstrak
Pesawat terbang modern, sebagai sistem transportasi yang beroperasi di ketinggian tinggi, menghadirkan tantangan biofisika tersendiri bagi kesehatan awak dan penumpangnya. Artikel ini bertujuan mengeksplorasi aplikasi fisika kesehatan atau biofisika dalam lingkungan penerbangan, dengan fokus pada paparan radiasi kosmik, perubahan tekanan kabin, kadar oksigen parsial, serta efek gaya gravitasi rendah (mikrogravitasi parsial) terhadap sistem fisiologis manusia. Kajian ini bersifat literatur review dan didasarkan pada pendekatan interdisipliner antara biofisika, aeronautika, dan ilmu kedokteran penerbangan. Temuan utama menunjukkan bahwa risiko kesehatan pada ketinggian jelajah 35.000 kaki melibatkan dinamika radiasi ionisasi, hipoksia ringan, hingga perubahan hemodinamik, yang membutuhkan sistem monitoring biofisik dan mitigasi berbasis teknologi modern.
Kata Kunci:
biofisika, pesawat terbang, radiasi kosmik, tekanan kabin, hipoksia, kesehatan
penerbangan
Pendahuluan
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan
transportasi udara telah mengubah dinamika pergerakan manusia dan barang.
Namun, di balik efisiensi dan kecepatannya, terdapat faktor-faktor biofisika
yang berpotensi mengganggu kesehatan manusia dalam penerbangan. Ilmu biofisika,
sebagai cabang interdisipliner dari fisika dan biologi, memberikan kontribusi
penting dalam memahami efek lingkungan pesawat terhadap tubuh manusia.
Dalam penerbangan komersial, ketinggian jelajah
berkisar antara 30.000–40.000 kaki di atas permukaan laut, yang berarti tubuh
manusia terekspos pada lingkungan dengan tekanan udara rendah, suhu ekstrem,
kadar oksigen yang menurun, serta radiasi kosmik yang lebih tinggi dibandingkan
permukaan bumi. Artikel ini mengulas aplikasi prinsip-prinsip biofisika dalam
mengidentifikasi dan menangani isu-isu kesehatan dalam konteks penerbangan.
Literature
Review
Kajian tentang aspek biofisika dalam penerbangan
telah berkembang sejak era Perang Dunia II, ketika kebutuhan untuk memahami
dampak lingkungan udara terhadap kesehatan pilot menjadi krusial dalam strategi
pertahanan udara. Dalam perkembangan kontemporer, kajian biofisika penerbangan
lebih banyak menekankan pada dinamika tekanan udara, radiasi ionisasi,
perubahan fisiologis akibat percepatan tinggi (G-force), serta gangguan
vestibular yang memengaruhi sistem saraf pusat.
Radiasi
Kosmik dan Risiko Kesehatan
Radiasi kosmik terdiri atas partikel bermuatan
tinggi dari luar angkasa, termasuk proton dan inti berat yang menembus atmosfer
bumi. Pada ketinggian jelajah pesawat komersial (30.000–40.000 kaki), pelindung
atmosfer menipis, dan menyebabkan peningkatan paparan radiasi yang bersifat
ionisasi. Studi oleh Cucinotta, Kim, dan Chappell (2013) menyatakan bahwa
paparan kronis terhadap radiasi kosmik, terutama pada penerbangan lintas kutub
dan rute internasional frekuen, berkontribusi terhadap peningkatan risiko kanker,
katarak, dan kerusakan DNA. Penelitian mereka menggunakan model biokinetik
partikel energi tinggi untuk memprediksi dosis tahunan bagi awak pesawat, yang
dapat mencapai 2–5 mSv, mendekati batas tahunan untuk pekerja radiasi.
Dalam publikasi International Commission on
Radiological Protection (ICRP, 2016), awak pesawat udara digolongkan sebagai
pekerja radiasi (radiation workers) yang harus dimonitor dosisnya. Oleh karena
itu, sebagian besar maskapai di Eropa dan Amerika telah menerapkan dosimetri aktif
berbasis termoluminesensi (TLD) untuk memantau akumulasi dosis secara tahunan.
ICRP menganjurkan bahwa batas paparan efektif untuk awak pesawat tidak melebihi
20 mSv per tahun dalam periode lima tahun berturut-turut.
Hipoksia
dan Penurunan Tekanan Kabin
Penurunan tekanan udara di kabin pesawat adalah
hasil dari pengaturan sistem pressurization yang mempertahankan tekanan
ekuivalen 6.000–8.000 kaki meskipun pesawat terbang di ketinggian lebih dari
30.000 kaki. Kondisi ini menurunkan tekanan parsial oksigen (pO₂) sekitar
25–30% dibandingkan permukaan laut. West dan Schoene (2012) mengemukakan bahwa
kondisi ini dapat menyebabkan hipoksia ringan pada individu sehat dan hipoksia
sedang pada individu dengan gangguan jantung atau paru. Respon tubuh terhadap penurunan
pO₂ termasuk peningkatan ventilasi, takikardia, dan peningkatan curah jantung
sebagai kompensasi terhadap pengurangan kapasitas difusi alveolar.
Selain itu, Ernsting, Nicholson, dan Rainford
(2016) menambahkan bahwa penurunan tekanan juga berdampak pada sistem telinga
tengah, sinus paranasal, dan rongga gas lainnya di tubuh. Perbedaan tekanan
eksternal dan internal ini menyebabkan barotrauma ringan hingga sedang, yang
sering disertai nyeri kepala, pusing, serta gangguan pendengaran sementara.
Percepatan
dan Efek Neurovestibular
Penerbangan modern tidak hanya menghadirkan tekanan
rendah, tetapi juga melibatkan percepatan dinamis akibat take-off, landing, dan
turbulensi. Dalam konteks penerbangan militer, pilot sering mengalami gaya
gravitasi hingga +9 g saat bermanuver tajam. Menurut data dari U.S. Air Force
School of Aerospace Medicine, percepatan tinggi menyebabkan redistribusi darah
dari kepala ke ekstremitas bawah, menurunkan perfusi otak, dan berisiko
menyebabkan g-induced loss of consciousness (G-LOC). Pakaian anti-g
digunakan untuk memitigasi fenomena ini melalui tekanan mekanik pada
ekstremitas bawah agar darah tidak mengalir terlalu jauh dari jantung dan otak.
Penelitian oleh Hallgren et al. (2015) menunjukkan
bahwa konflik sensorik antara sistem vestibular, visual, dan proprioseptif
akibat turbulensi atau perubahan percepatan dapat memicu motion sickness.
Gejalanya termasuk mual, vertigo, disorientasi spasial, dan dalam kasus ekstrem
menyebabkan hilangnya kesadaran situasional. Hal ini menggarisbawahi pentingnya
adaptasi sistem vestibular sebagai bagian integral dari biofisika penerbangan.
Penggunaan
Teknologi Biofisik dalam Pemantauan
Kemajuan teknologi wearable memfasilitasi
pemantauan biometrik secara real-time selama penerbangan. Zhao et al. (2019)
menunjukkan bahwa sensor berbasis fotopletismografi (PPG) mampu mendeteksi
denyut jantung, saturasi oksigen, dan variabilitas denyut jantung (HRV) dengan
akurasi tinggi, meskipun dalam kondisi turbulen. Hal ini memungkinkan skrining
dini terhadap kelelahan, stres, dan hipoksia pada awak pesawat.
Lebih lanjut, Kim, Park, dan Choi (2021)
mengembangkan sistem pemantauan kecerdasan buatan berbasis machine learning
yang menganalisis data biometrik dari wearable sensor untuk mendeteksi
disfungsi fisiologis seperti aritmia atau stres termal. Aplikasi ini penting
untuk penerbangan jarak jauh dan misi luar angkasa yang menuntut stabilitas
kondisi fisiologis dalam jangka panjang.
Keterbatasan
Kajian Terdahulu
Meskipun kajian terdahulu telah menjelaskan
berbagai aspek biofisika penerbangan secara terpisah—baik dari sudut pandang
radiasi, hipoksia, percepatan, maupun gangguan vestibular—belum banyak
pendekatan yang mengintegrasikan seluruh aspek tersebut dalam satu kerangka
analisis sistemik. Studi-studi sebelumnya cenderung bersifat sektoral dan
difokuskan pada konteks militer atau luar angkasa, bukan penerbangan komersial
sipil.
Dengan demikian, terdapat kebutuhan akan model
teoritis integratif yang dapat menjelaskan interaksi antar-faktor lingkungan
penerbangan dan dampaknya secara simultan terhadap sistem fisiologis manusia.
Kajian ini menawarkan sintesis tersebut melalui integrasi biofisika, fisiologi
penerbangan, dan teknologi monitoring mutakhir.
State of
the Art
Kajian tentang interaksi antara faktor lingkungan
penerbangan dengan sistem biologis manusia telah menjadi perhatian utama dalam
bidang bioaeronautika dan fisika kesehatan selama lebih dari lima dekade. Sejak
awal ditemukannya peningkatan risiko kesehatan pada penerbangan ketinggian
tinggi, para ilmuwan mulai mengembangkan pendekatan biofisika untuk menjelaskan
perubahan fisiologis akibat tekanan atmosfer rendah, suhu ekstrem, dan paparan
radiasi kosmik.
Penelitian awal yang dilakukan oleh Ernsting
dan timnya pada pertengahan abad ke-20 membuka landasan mengenai dampak
hipobarik dan hipoksia terhadap pilot tempur dan penumpang komersial (Ernsting
et al., 2016). Kajian ini diperkuat oleh West & Schoene (2012), yang
secara sistematik menjelaskan bagaimana tekanan parsial oksigen yang rendah
pada ketinggian di atas 8.000 kaki dapat memicu adaptasi kardiopulmoner yang
signifikan, termasuk peningkatan ventilasi dan perubahan difusi gas dalam
alveolus.
Dalam dua dekade terakhir, perhatian ilmuwan
beralih kepada radiasi kosmik, yang menjadi salah satu perhatian besar
dalam penerbangan sipil dan militer. Menurut International Commission on
Radiological Protection (2016), radiasi ionisasi dari partikel bermuatan
tinggi di luar atmosfer bumi telah terbukti meningkatkan risiko karsinogenesis
bagi kru pesawat dan pilot, terutama pada rute kutub dan penerbangan lintas
benua. Oleh karena itu, sistem dosimetri pribadi dan prediksi model paparan
berbasis simulasi Monte Carlo mulai diterapkan secara luas untuk memantau
akumulasi dosis selama aktivitas terbang (Cucinotta et al., 2013).
Seiring dengan kemajuan teknologi, inovasi sensor
biofisika seperti wearable PPG (photoplethysmography), pulse oximeter
miniatur, dan sistem monitoring biometrik real-time menjadi bagian
penting dari pendekatan preventif dalam penerbangan komersial maupun militer.
Penelitian-penelitian terkini dari lembaga kedirgantaraan seperti NASA dan ESA
juga mengembangkan model simulasi penerbangan mikrogravitasi yang mereplikasi
kondisi pesawat luar angkasa, untuk menganalisis respons vestibular dan
neurokognitif secara lebih rinci.
Meskipun banyak kajian telah dilakukan pada
aspek-aspek parsial seperti radiasi atau tekanan, belum banyak studi yang
mengintegrasikan seluruh dimensi biofisika dalam satu kerangka sistemik dan
aplikatif dalam konteks penerbangan umum. Kajian ini menjadi penting terutama
untuk merumuskan kebijakan kesehatan penerbangan berbasis bukti ilmiah dan
teknologi terkini.
Dalam kerangka ini, artikel ini mengisi celah
(research gap) dengan menggabungkan seluruh faktor risiko biofisik (radiasi,
tekanan, oksigen, gravitasi, dan vestibular) serta memberikan peta integratif
terhadap upaya mitigasi risiko yang telah dan sedang dikembangkan. Dengan
pendekatan multidisipliner, artikel ini menghadirkan pembaruan konseptual dan
praktis mengenai aplikasi biofisika dalam menjaga keselamatan dan kesehatan
manusia selama penerbangan.
Grand Theory:
Integrasi
Biotransfer Energi dan Homeostasis Adaptif dalam Sistem Tertutup Bertekanan
Rendah
Dalam konteks penerbangan, tubuh manusia beroperasi
di dalam sistem tertutup dengan tekanan atmosfer yang dimodifikasi, paparan
radiasi kosmik yang meningkat, serta variabilitas percepatan dan kelembapan.
Oleh karena itu, dibutuhkan kerangka teoretis yang tidak hanya mencakup konsep
fisiologis dasar, tetapi juga menjelaskan alur energi dan stresor fisik dari
lingkungan ke sistem biologis. Grand theory yang digunakan dalam studi ini
disebut sebagai Teori Integratif Biotransfer Energi dan Homeostasis Adaptif
(TIBEHA).
1. Asumsi
Dasar Teori TIBEHA
- Tubuh manusia adalah sistem biofisik terbuka
secara energi tetapi tertutup secara spasial dalam kabin pesawat.
- Lingkungan pesawat terbang menghasilkan
tekanan parsial oksigen rendah, suhu ekstrem, dan paparan radiasi
ionisasi.
- Stresor fisik ini dipersepsi oleh sistem
reseptor tubuh (mekano-, baro-, dan kemoreseptor) yang kemudian
menstimulasi respon adaptif melalui sistem saraf otonom dan hormon.
- Keseimbangan fisiologis (homeostasis) dalam
tubuh dijaga melalui mekanisme kompensasi multi-level, mencakup sistem
respirasi, kardiovaskular, dan neurovestibular.
2. Pilar
Teoretis Pendukung
Teori TIBEHA dibangun atas dasar sintesis dari
beberapa teori besar, antara lain:
- Hukum
Fisika Gas (Boyle, Dalton, dan Henry)
- Menjelaskan bagaimana perubahan tekanan dan volume memengaruhi difusi oksigen ke dalam darah, serta dampaknya terhadap kondisi hipobarik dan hipoksia di kabin pesawat.
- Teori
Homeostasis (Cannon, 1932)
- Menjadi dasar dalam menjelaskan mekanisme tubuh untuk mempertahankan kestabilan internal (temperatur, tekanan darah, pH) dalam lingkungan eksternal yang berubah-ubah.
- Teori Biotransfer Energi (Lehninger, 1970-an)
- Menjelaskan bagaimana energi diproses dalam sistem seluler sebagai respon terhadap perubahan lingkungan fisik, terutama dalam metabolisme aerobik yang bergantung pada ketersediaan oksigen.
- Teori
Sistem Adaptif Kompleks (Holland, 1992)
- Menggambarkan bagaimana tubuh manusia sebagai sistem kompleks bereaksi secara non-linear terhadap stimulus fisik berulang seperti radiasi atau percepatan tinggi.
- Model
Stress-Fisiologis dari Selye (1956)
- Memperkuat pendekatan holistik dalam melihat
bagaimana tubuh menghadapi stres fisik lingkungan ekstrem dan menyesuaikan
respons adaptifnya.
3.
Relevansi Teori TIBEHA dalam Penerbangan
Teori TIBEHA memberikan pemahaman integratif
mengenai:
- Paparan radiasi kosmik sebagai bentuk transfer energi ionisasi yang merusak struktur DNA dan membran sel, serta bagaimana sistem perbaikan DNA dan antioksidan bertindak sebagai penjaga homeostasis.
- Perubahan tekanan kabin dan pO₂
sebagai pemicu reaksi ventilasi dan perfusi yang dimediasi oleh
kemoreseptor pusat dan perifer.
- Perubahan percepatan (G-Force) sebagai stimulus yang menguji sistem baroreseptor dan hemodinamik tubuh, yang dalam jangka panjang dapat memengaruhi fungsi jantung dan keseimbangan.
- Konflik sensorik vestibular
yang memicu gangguan neurokognitif ringan hingga sindrom mabuk udara.
Implikasi
Teoretis
Dengan mengintegrasikan teori biofisika klasik dan
kontemporer, TIBEHA menyediakan kerangka untuk:
- Mendesain sistem monitoring biofisiologis
berbasis sensor.
- Mengembangkan standar medis dan protokol
adaptasi awak pesawat.
- Mengusulkan intervensi preventif berbasis bukti, seperti suplementasi oksigen mikro, shielding radiasi, dan rotasi kerja kru penerbangan.
Radiasi
Kosmik dan Risiko Kesehatan
Radiasi kosmik terdiri dari partikel energi tinggi,
termasuk proton dan inti atom, yang berasal dari luar angkasa dan matahari.
Atmosfer bumi melindungi permukaan dari sebagian besar radiasi ini, namun pada
ketinggian jelajah pesawat, perlindungan ini berkurang drastis. Berdasarkan
studi dari International Commission on Radiological Protection (ICRP),
kru pesawat dapat menerima dosis radiasi sekitar 2–5 mSv per tahun, mendekati
batas tahunan untuk pekerja radiasi.
Dari sudut pandang biofisika, radiasi ini bersifat
ionisasi dan dapat menyebabkan kerusakan DNA, peningkatan stres oksidatif, dan
mutasi genetik. Oleh karena itu, pemantauan dosis radiasi menjadi hal yang
krusial, terutama bagi pilot dan awak kabin yang terpapar dalam jangka panjang.
Sistem dosimetri elektronik berbasis TLD (Thermoluminescent Dosimeter) kini
digunakan secara luas untuk pemantauan akumulatif paparan ini.
Perubahan
Tekanan Kabin dan Oksigenasi Jaringan
Tekanan kabin pada pesawat dikondisikan setara
dengan tekanan atmosfer pada ketinggian 6.000–8.000 kaki. Ini berarti tekanan
parsial oksigen (pO₂) di dalam kabin hanya sekitar 75 % dari nilai di permukaan
laut. Menurut hukum Henry dan hukum Dalton, penurunan tekanan total akan
menyebabkan penurunan kelarutan dan difusi oksigen dalam darah.
Dalam konteks ini, fisiologi penerbangan mempelajari
efek mild hypobaric hypoxia yang ditandai dengan gejala seperti
kelelahan, gangguan kognitif, dan hiperventilasi ringan, terutama pada individu
dengan penyakit kardiopulmoner. Adaptasi biofisik tubuh, seperti peningkatan
curah jantung dan redistribusi aliran darah, menjadi respon kompensatoris
alami.
Adaptasi
Sistem Vestibular terhadap Percepatan dan Gravitasi
Pesawat mengalami berbagai manuver yang melibatkan
percepatan angular dan linear. Sistem vestibular manusia di telinga
dalam—khususnya kanalis semisirkularis dan utrikulus—merespons perubahan ini
melalui gerakan cairan endolimfa. Namun, dalam kondisi percepatan tinggi atau
turbulensi, konflik sensorik antara sistem vestibular, visual, dan
proprioseptif dapat menyebabkan motion sickness, suatu sindrom yang
dikaji secara luas dalam biofisika penerbangan.
Percepatan gravitasi tambahan yang dialami saat
take-off, landing, atau manuver tajam (dalam penerbangan militer), bahkan bisa
mencapai 3–5 g, berisiko menyebabkan g-induced loss of consciousness (G-LOC)
akibat penurunan perfusi otak. Oleh karena itu, kursi anti-g dan latihan fisik
khusus digunakan untuk membantu adaptasi.
Teknologi
Biofisika dalam Monitoring Kesehatan Penerbangan
Berbagai inovasi biofisika telah dikembangkan untuk
meningkatkan keselamatan penerbangan, termasuk:
- Pulse oximeter portabel:
Untuk memantau saturasi oksigen dalam darah selama penerbangan.
- Sensor wearable berbasis fotopletismografi
(PPG): Untuk deteksi denyut jantung, stres, dan
dehidrasi.
- Artificial Intelligence dalam deteksi dini
disfungsi fisiologis: Mengintegrasikan data biometrik kru untuk
memperkirakan risiko kesehatan.
Selain itu, simulasi biofisik pada lingkungan hipo-
dan hiperbari digunakan dalam pelatihan awak udara untuk adaptasi ekstrem.
Implikasi
Klinis dan Kebijakan
Kesadaran terhadap faktor-faktor biofisika ini
harus menjadi perhatian dalam manajemen kesehatan awak dan penumpang.
Organisasi seperti ICAO dan FAA telah menerbitkan panduan medis terkait syarat
kebugaran terbang, sementara maskapai mulai menerapkan kebijakan rotasi awak
untuk mengurangi paparan kronis terhadap faktor risiko biofisik.
Kesimpulan
Aplikasi fisika kesehatan dalam penerbangan
mencakup multidimensi: dari pemahaman dasar tentang radiasi, tekanan udara,
hingga respon neurovestibular. Kajian biofisika tidak hanya memperluas wawasan
tentang tantangan kesehatan dalam penerbangan, tetapi juga menawarkan solusi
berbasis teknologi untuk mitigasi risiko. Integrasi antara teknologi sensor,
regulasi kesehatan udara, dan pendekatan preventif menjadi kunci dalam
menciptakan lingkungan terbang yang aman dan sehat.(ms2).