Geofisika Terapan & Flying Cam : Inovasi Tata Kelola Limbah Pesisir dalam Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Sains

Sub judul : "Transformasi Limbah Cangkang Kerang, Kepah, & Tulang Ikan Menjadi Produk Bernilai Tambah Membantu Program Pemerintah Pengentasan Kemiskinan Ekstrem dan Penurunan Angka Prevalensi Stunting melalui Zero Waste, Sirkular Ekonomi, Model Kolaborasi Hepta Helix, SDG’s, Ekonomi Hijau & Biru & Proper Gold ".



oleh :

1. Dr. H. Marhaban Sigalingging, Dosen di Universitas Muhammadiyah Metro. Local Business, MPP ICMI Dewan Pakar Ekonomi & Inovasi Jakarta. Periode 2021-2026, CEO Marhaban Corp.

 

2. KH. Dr. Muhammad Sontang Sihotang S.Si, M.Si*.(Alumnus S-1 : Fisika USU ’88, S-2 Alumnus: Materials Science-University of Indonesia (UI) Salemba, Central Jakarta Alumnus S-3 ; Universiti Zainal Abidin (UniSZA) Kuala Terengganu, Malaysia, Bidang Kajian : Metafisika Tasawuf, Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, Prodi Fisika, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Peneliti Pusat Unggulan Ipteks Karbon & Kemenyan-Universitas Sumatera Utara (USU)-Medan, Dosen Prodi Ilmu Filsafat Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB)-Medan, Mantan Dosen Sains Fizik / Quantum Physics, Fisika Kelautan, Food & Technology Physics, Fakulti Sains dan Teknologi (FST), Universiti Malaysia Terengganu (UMT), Malaysia, Tahun 2007-2013, Mantan Dosen Fisika Kedokteran & Keperawatan, Fakultas Kedokteran & Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), d/h Salemba, Jakarta Pusat, Tahun 1996 s.d 2000. Fellowship & Training in Medical Image Processing & Computing (MIPC) @ Vrije University Brussels (VUB)-Belgium (VLIR Scholarship) & Institute Science & Medical (ISM)- Salzburg-Austria-Tahun 2000/2001, Bagian Fisika Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Tahun 2000-2004, Manager Engineering Data & Information Centre (EDIC) Engineering Centre, Fakultas Teknik – Universitas Indonesia- Depok (2005-2006), Wartawan PortalMedan News.

 

Abstrak :

 

Kemajuan teknologi flying cam (drone) dan pendekatan geofisika terapan telah membuka peluang baru dalam pengelolaan sumber daya & limbah pesisir berbasis data spasial.

Artikel ini membahas pemanfaatan flying cam oleh masyarakat peneliti geofisika dalam memetakan dan mengelola limbah organik pesisir seperti cangkang kerang, kepah & tulang ikan di desa pesisir, khususnya dalam konteks pengentasan kemiskinan ekstrem & penurunan angka stunting. Melalui identifikasi lokasi limbah, analisis kandungan mineral & transformasi material berbasis kalsium menjadi produk bernilai tambah (seperti granular pupuk, suplemen gizi &  kerajinan biokomposit), riset ini mendukung implementasi prinsip zero waste, ekonomi sirkular, ekonomi hijau-biru, SDG’s serta model kolaborasi Hepta Helix.

Hasilnya akan menunjukkan bahwa integrasi teknologi geospasial & pemberdayaan komunitas pesisir dapat menjadi strategi inovatif dalam mencapai target SDG’s, PROPER Gold, dan kemandirian desa berbasis sains.

 

Kata Kunci: Flying Cam, Geofisika Terapan, Limbah Pesisir, Cangkang Kerang, Tulang Ikan, Ekonomi Sirkular, Pemberdayaan Masyarakat, Zero Waste, SDG’s, Hepta Helix, Ekonomi Hijau – Biru.

 

Pendahuluan :

 

Sains untuk Masyarakat Pesisir yang Tangguh, Pesisir bukan hanya batas daratan &  lautan, melainkan ruang hidup strategis dengan potensi ekonomi & ekologis yang besar. Namun, wilayah ini juga kerap menjadi episentrum masalah : limbah organik dari hasil laut menumpuk, kemiskinan ekstrem masih tinggi &  angka stunting di komunitas pesisir tetap memprihatinkan.

Dalam konteks inilah geofisika terapan & teknologi flying cam (drone) hadir sebagai instrumen ilmiah yang tidak hanya mencatat, tetapi juga mengubah keadaan.

 

Artikel ini mengeksplorasi bagaimana pendekatan berbasis sains, khususnya geofisika terapan & pemetaan udara, berkontribusi dalam pengelolaan limbah pesisir, seperti cangkang kerang, kepah & tulang ikan, menjadi produk inovatif bernilai tambah.

Upaya ini mendukung agenda nasional pengentasan kemiskinan ekstrem, penurunan angka prevalensi stunting, serta pembangunan berkelanjutan berbasis prinsip zero waste, sirkular ekonomi, SDG’s, Ekonomi hijau-biru Model Hepta Helix Collaboration.

 

Permasalahan :

 

Wilayah pesisir di Indonesia menyimpan potensi sumber daya hayati dan mineral yang besar, tetapi pada saat yang sama menghadapi berbagai permasalahan krusial yang bersifat multidimensi. Salah satu tantangan utama adalah masih belum optimalnya pemanfaatan limbah pesisir organik, seperti cangkang kerang, kepah & tulang ikan, yang sering kali terakumulasi & menjadi sumber pencemaran lingkungan. Padahal, material tersebut kaya akan kandungan kalsium yang berpotensi untuk diolah menjadi produk inovatif bernilai ekonomi tinggi seperti pupuk organik, bio-material, dan suplemen pakan.

 

Di sisi lain, ketimpangan data spasial terkait distribusi dan volume limbah, keterbatasan akses teknologi, serta minimnya pendekatan ilmiah dalam perencanaan tata kelola limbah menjadi hambatan dalam upaya pengelolaan yang berkelanjutan. Teknologi geospasial seperti flying cam (drone) belum banyak diadopsi secara sistematis dalam survei dan penelitian berbasis masyarakat di kawasan pesisir.

 

Masalah tersebut diperparah oleh:

 

Kurangnya integrasi riset geofisika dengan pemberdayaan masyarakat, terutama dalam aspek hilirisasi hasil riset ke produk inovatif;

 

Rendahnya literasi teknologi & sains di kalangan masyarakat pesisir, khususnya perempuan & kelompok marjinal;

 

Belum adanya model kolaborasi multipihak (Hepta Helix) yang komprehensif dalam menangani masalah limbah pesisir dari hulu ke hilir;

 

Masih tingginya angka kemiskinan ekstrem & stunting di desa-desa pesisir, yang seharusnya bisa ditekan dengan pendekatan ekonomi sirkular & pemanfaatan sumber daya lokal.

 

Dengan latar belakang tersebut, diperlukan model inovatif berbasis ilmu geofisika, didukung teknologi flying cam, serta pendekatan pemberdayaan komunitas yang mengintegrasikan pengelolaan limbah pesisir dengan agenda pembangunan berkelanjutan (SDG’s), ekonomi biru, ekonomi hijau, dan sistem pendampingan yang kolaboratif.

 

Alternatif Penyelesaian Masalah :

 

Untuk menjawab kompleksitas masalah pengelolaan limbah pesisir organik & rendahnya pemanfaatan teknologi sains dalam pengembangan desa pesisir, berikut beberapa alternatif penyelesaian yang dapat ditawarkan secara terintegrasi & berkelanjutan:

 

1. Penerapan Teknologi Flying Cam dalam Pemetaan Spasial Limbah, Drone atau flying cam dapat dimanfaatkan untuk:

 

Memetakan titik-titik akumulasi limbah pesisir (cangkang kerang, kepah & tulang ikan);

 

Menghasilkan citra spasial berkala yang membantu perencanaan zona pengumpulan & pengolahan;

 

Mendukung survei geofisika awal dengan akurasi tinggi untuk mendeteksi potensi lingkungan bawah permukaan.

 

Manfaat : efisiensi survei lapangan, data akurat untuk perencanaan, serta dokumentasi visual yang mudah dianalisis & dibagikan.

 

2. Integrasi Geofisika Terapan dalam Riset & Pengembangan Produk

Pendekatan geofisika terapan seperti resistivitas, GPR & analisis mineral dapat digunakan untuk:

 

Mengidentifikasi kualitas & kandungan kalsium dalam limbah organik;

 

Menentukan lokasi terbaik untuk fasilitas pengolahan limbah;

 

Mendukung validasi produk inovasi seperti granular kalsium, pupuk organik, atau biomaterial.

 

Manfaat : menjembatani riset ilmiah & pemanfaatan praktis yang berbasis pada potensi lokal.

 

3. Pengembangan Produk Inovatif Berbasis Zero Waste & Ekonomi Sirkular

Transformasi limbah organik menjadi:

Granular pupuk organik kaya kalsium

Suplemen pakan ternak & unggas

Produk kerajinan bio-komposit ramah lingkungan

Bahan dasar biokeramik atau campuran semen hijau

 

Manfaat : meningkatkan nilai ekonomi limbah, membuka peluang UMKM local & mendorong model ekonomi berkelanjutan.

 

4. Penguatan Kapasitas Masyarakat dan Literasi Teknologi

Melalui pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat (terutama perempuan pesisir) dalam:

 

Penggunaan & pemeliharaan flying cam;

 

Teknik dasar geofisika partisipatif;

 

Proses pengolahan limbah menjadi produk bernilai tambah;

 

Pemasaran & manajemen usaha mikro.

 

Manfaat: peningkatan kapasitas lokal, pemberdayaan ekonomi berbasis keterampilan, dan kemandirian desa pesisir.

 

5. Pembentukan Model Kolaborasi Hepta Helix dalam Tata Kelola ; Mendorong sinergi antara: Akademisi (riset dan teknologi), Pemerintah (regulasi dan insentif), Dunia usaha (hilirisasi produk dan investasi), Masyarakat (produksi dan pemanfaatan), Media (publikasi dan edukasi), Lembaga keuangan (pembiayaan inklusif), LSM dan filantropi (pendampingan berkelanjutan).

 

Manfaat: kolaborasi lintas sektor yang terstruktur, mendorong keberlanjutan program dan akselerasi dampak sosial-lingkungan.

 

6. Integrasi dengan Program Nasional: SDGs, Ekonomi Hijau–Biru, dan PROPER

Menjadikan program ini bagian dari pencapaian Sustainable Development Goals;

 

Mengusulkan model desa pesisir sebagai pilot project ekonomi hijau–biru;

 

Mendukung pencapaian PROPER Emas dalam pengelolaan lingkungan berbasis inovasi dan pemberdayaan.

 

Manfaat: meningkatkan posisi strategis desa dalam pembangunan nasional dan penguatan reputasi lingkungan secara global.

 

Tujuan Kajian

 

Kajian ini bertujuan untuk mengintegrasikan teknologi flying cam dan pendekatan geofisika terapan dalam pengelolaan limbah pesisir berbasis cangkang kerang, kepah, dan tulang ikan, guna mendorong inovasi produk lokal serta pemberdayaan masyarakat pesisir secara berkelanjutan dalam kerangka SDGs, ekonomi sirkular, dan model kolaborasi Hepta Helix.

 

Objektif Kajian

 

Menganalisis potensi penggunaan flying cam (drone) untuk pemetaan spasial limbah organik di wilayah pesisir.

 

Mengkaji aplikasi geofisika terapan dalam mengidentifikasi lokasi, kandungan mineral, dan karakteristik limbah cangkang dan tulang ikan.

 

Merancang strategi pemanfaatan limbah pesisir menjadi produk bernilai tambah, seperti granular kalsium, pupuk, dan bio-material.

 

Menawarkan model pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis teknologi dan inovasi lokal, khususnya melalui keterlibatan perempuan dan kelompok marginal.

 

Mengusulkan kerangka kolaborasi multipihak (Hepta Helix) dalam pengelolaan limbah pesisir yang terukur, berkelanjutan, dan berbasis data ilmiah.

 

Manfaat Kajian

 

Manfaat Teoritis:

 

Menambah khazanah keilmuan dalam bidang geofisika terapan, geospasial, dan teknologi pesisir berbasis drone.

 

Memberikan perspektif interdisipliner antara ilmu kebumian, teknologi lingkungan, dan pemberdayaan sosial.

 

Manfaat Praktis:

 

Memberikan model aplikatif bagi pemerintah desa dan komunitas pesisir dalam memanfaatkan limbah lokal secara produktif.

 

Menyediakan dasar ilmiah dan spasial untuk perencanaan program desa berbasis ekonomi sirkular dan zero waste.

 

Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan teknologi sederhana namun berdampak tinggi.

 

Mendorong kolaborasi sektor swasta, akademisi, dan komunitas dalam pembangunan desa berbasis inovasi lokal.


Batasan Kajian :

Ruang lingkup wilayah terbatas pada desa-desa pesisir yang memiliki sumber limbah organik laut seperti cangkang kerang, kepah, dan tulang ikan (contohnya: Desa Medang, Kab. Batubara).

 

Teknologi flying cam yang dikaji dibatasi pada penggunaan untuk pemetaan spasial (fotogrametri dan citra visual), belum mencakup drone dengan sensor LiDAR atau hyperspectral.

 

Aspek geofisika difokuskan pada aplikasi survei permukaan dan near-surface (resistivitas dan GPR) yang relevan untuk mendukung pemetaan dan analisis kandungan limbah.

 

Pengolahan limbah dibatasi pada transformasi menjadi produk turunan berbasis kalsium tanpa membahas pengolahan limbah non-organik atau industri skala besar.

 

Pendekatan kolaborasi dibahas dalam kerangka konseptual dan implementatif, namun belum pada tahap evaluasi dampak kuantitatif secara jangka panjang.

 

Kajian Sebelumnya :

 

Kajian ilmiah terkait pemanfaatan teknologi flying cam (drone) dan pendekatan geofisika dalam pengelolaan wilayah pesisir serta pemberdayaan masyarakat menunjukkan perkembangan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa penelitian terdahulu menjadi dasar penting bagi pengembangan model integratif berbasis sains ini.

 

1. Penggunaan Drone dalam Pemetaan Pesisir dan Lingkungan

Menurut Wahyudi & Lestari (2023), drone telah terbukti efektif dalam melakukan pemetaan wilayah pesisir yang rentan terhadap perubahan seperti abrasi, sedimentasi, dan pencemaran. Teknologi ini mampu menyediakan citra spasial berkualitas tinggi secara cepat dan efisien, termasuk untuk mengidentifikasi distribusi limbah di zona intertidal dan pesisir dangkal.

 

Penelitian Rahmadani et al. (2022) juga menunjukkan bahwa drone mendukung survei lapangan berbasis komunitas dalam program mitigasi bencana pesisir dengan menurunkan risiko keselamatan tim survei dan meningkatkan akurasi pemetaan kawasan rawan.

 

2. Aplikasi Geofisika Terapan di Wilayah Pesisir

Dalam ranah ilmu kebumian, BRIN (2022) mengembangkan pendekatan geofisika terapan dengan memanfaatkan resistivitas dan GPR (Ground Penetrating Radar) untuk mendeteksi struktur bawah permukaan di kawasan pesisir dan tambak. Teknologi ini sangat relevan dalam mendukung identifikasi zona akumulasi limbah dan sumber daya mineral lokal, termasuk kandungan kalsium dari limbah organik laut seperti tulang ikan dan cangkang kerang.

 

3. Potensi Limbah Organik Pesisir sebagai Produk Bernilai Tambah

Penelitian oleh Rinaldi et al. (2023) mengemukakan bahwa cangkang kerang, kepah, dan tulang ikan kaya akan kandungan kalsium karbonat (CaCO₃) dan kalsium fosfat (Ca₁₀(PO₄)₆(OH)₂), yang dapat diolah menjadi produk bio-material, pupuk organik, suplemen pakan, hingga bahan dasar biokeramik. Namun, masih terdapat kesenjangan dalam hal integrasi antara data spasial dan proses pengolahan limbah tersebut dalam skala komunitas.

 

4. Ekonomi Sirkular dan Zero Waste di Pesisir

Kajian oleh Sari & Nugroho (2021) menggarisbawahi pentingnya pendekatan ekonomi sirkular dan konsep zero waste dalam pengelolaan limbah pesisir. Mereka menyarankan perlunya inovasi berbasis lokal dan pendekatan lintas ilmu yang mampu memberdayakan masyarakat sambil menjaga kelestarian lingkungan.

 

5. Model Kolaboratif dalam Pemberdayaan Komunitas

Pendekatan pembangunan kolaboratif berbasis Penta Helix telah banyak dikaji dalam konteks desa wisata, konservasi, dan inovasi UMKM. Namun, Utami (2020) menunjukkan bahwa model Hepta Helix, yang menambahkan sektor keuangan dan lembaga filantropi ke dalam kolaborasi, memiliki potensi lebih besar dalam mendorong inovasi berbasis komunitas – tetapi masih jarang diterapkan dalam konteks pengelolaan limbah pesisir.

 

Dari berbagai kajian tersebut, terlihat adanya pemisahan antara riset teknologi (flying cam dan geofisika), riset potensi limbah organik, dan kajian sosial pemberdayaan masyarakat. Belum banyak studi yang mengintegrasikan ketiganya dalam satu pendekatan terpadu untuk menjawab permasalahan pesisir secara holistik. Oleh karena itu, artikel ini berupaya mengisi kekosongan tersebut dengan merancang suatu model inovatif berbasis geosains, teknologi drone, dan kolaborasi multi-aktor untuk mendorong transformasi lingkungan, sosial, dan ekonomi di kawasan pesisir.

 

State of the Art :

 

Dalam beberapa tahun terakhir, pemanfaatan teknologi drone (flying cam) dan pendekatan geofisika terapan telah mengalami kemajuan pesat, khususnya dalam konteks riset wilayah pesisir dan pengelolaan lingkungan. Drone kini tidak lagi terbatas sebagai alat dokumentasi visual, melainkan telah berevolusi menjadi instrumen penting dalam pengumpulan data spasial, pemetaan topografi, pemantauan perubahan garis pantai, serta deteksi akumulasi limbah organik secara presisi. Hal ini menjadikan teknologi drone sebagai salah satu pilar penting dalam modernisasi riset geospasial pesisir.

 

Di sisi lain, ilmu geofisika terapan terus berkembang dari sekadar eksplorasi sumber daya bawah tanah menjadi pendekatan transdisipliner yang mendukung pemetaan lingkungan, mitigasi bencana, serta tata ruang berbasis karakteristik geologis lokal. Dalam konteks pesisir, metode seperti resistivity mapping dan Ground Penetrating Radar (GPR) telah dimanfaatkan untuk memetakan area abrasi, sebaran sedimen, dan struktur tanah dangkal — termasuk area akumulasi limbah berbasis kalsium seperti tulang ikan, cangkang kerang, dan kepah.

 

Bersamaan dengan perkembangan tersebut, konsep zero waste dan ekonomi sirkular telah menjadi arah baru dalam pengelolaan limbah organik, termasuk limbah laut. Riset sebelumnya (Rinaldi et al., 2023) menunjukkan bahwa limbah cangkang dan tulang ikan mengandung mineral penting seperti CaCO₃ dan Ca₁₀(PO₄)₆(OH)₂, yang sangat potensial untuk diolah menjadi pupuk organik, suplemen pakan, biokomposit, dan bahan dasar bio-keramik. Namun, kebanyakan kajian masih bersifat sektoral dan belum mengintegrasikan pemetaan spasial, pengolahan berbasis geosains, dan strategi pemberdayaan masyarakat secara komprehensif.

 

Selain itu, model pembangunan kolaboratif berbasis Hepta Helix (akademisi, pemerintah, pelaku usaha, komunitas, media, lembaga keuangan, dan filantropi) mulai diadopsi dalam proyek-proyek pembangunan berkelanjutan. Meski begitu, penerapannya dalam konteks pengelolaan limbah pesisir berbasis teknologi flying cam dan riset geofisika masih sangat terbatas.

 

Oleh karena itu, posisi artikel ini menjadi penting karena menyatukan tiga pilar utama yang jarang dikombinasikan dalam satu kerangka ilmiah dan implementatif, yaitu:

 

Teknologi pemetaan udara (drone/flying cam) untuk survei dan dokumentasi limbah pesisir;

 

Geofisika terapan sebagai pendekatan ilmiah dalam menilai potensi kandungan dan distribusi limbah berbasis mineral;

 

Pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi sirkular, zero waste, dan kolaborasi Hepta Helix untuk mewujudkan desa mandiri dan berkelanjutan.

 

Dengan demikian, artikel ini menempati posisi state of the art sebagai upaya lintas-disiplin yang mengisi kekosongan antara teknologi mutakhir, pemanfaatan sumber daya lokal, dan strategi pembangunan masyarakat berbasis data dan inovasi.

 

Grand Theory :

 

Kajian ini berpijak pada landasan teoritis interdisipliner yang menggabungkan tiga pendekatan besar, yaitu Teori Sistem Sosial-Ekologis (Social-Ecological Systems Theory), Teori Inovasi Teknologi (Diffusion of Innovation Theory), dan Teori Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment Theory). Ketiganya membentuk kerangka pikir integratif yang menopang pengembangan model pengelolaan limbah pesisir berbasis teknologi flying cam dan geofisika terapan dalam konteks pembangunan berkelanjutan.

 

1. Teori Sistem Sosial-Ekologis (SES Theory) – Elinor Ostrom

Teori ini menjelaskan bahwa wilayah pesisir merupakan suatu sistem kompleks yang terdiri dari interaksi antara manusia (masyarakat pesisir), sumber daya alam (limbah laut organik), dan institusi (pemerintah, komunitas lokal). Dalam konteks ini, keberhasilan pengelolaan limbah tidak hanya bergantung pada aspek teknis, tetapi juga pada dinamika sosial dan kelembagaan yang mengatur akses, penggunaan, dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

 

Implikasi: Pendekatan geofisika dan teknologi flying cam akan efektif jika dikontekstualisasikan dalam sistem sosial-ekologis lokal yang adaptif, partisipatif, dan berlandaskan nilai-nilai komunitas.

 

2. Teori Difusi Inovasi (Diffusion of Innovation Theory) – Everett M. Rogers

Rogers menekankan bahwa penyebaran inovasi dalam masyarakat sangat bergantung pada karakteristik teknologi (sederhana, terjangkau, bermanfaat), saluran komunikasi, dan kesiapan sosial-budaya penerima inovasi. Drone dan geofisika sebagai teknologi modern dapat diadopsi oleh masyarakat pesisir jika disosialisasikan melalui pendekatan partisipatif, pelatihan aplikatif, dan dukungan kelembagaan.

 

Implikasi: Agar flying cam dan geofisika dapat diterima dan diadopsi, dibutuhkan strategi capacity building, komunikasi lintas aktor, dan adaptasi teknologi dengan kearifan lokal.

 

3. Teori Pemberdayaan Komunitas (Community Empowerment Theory) – Zimmerman & Rappaport

Teori ini menjelaskan pentingnya transfer kontrol, pengetahuan, dan keterampilan kepada masyarakat lokal agar mereka mampu mengambil keputusan, mengelola sumber daya, dan meningkatkan kesejahteraan secara mandiri. Dalam konteks ini, pengelolaan limbah pesisir bukan semata urusan teknis, tetapi proses kolektif yang meningkatkan self-efficacy, ownership, dan partisipasi masyarakat — khususnya perempuan dan kelompok rentan.

 

Implikasi: Pengolahan limbah berbasis flying cam dan geofisika harus melibatkan masyarakat dalam setiap tahap: dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.

 

Sintesis Grand Theory :

 

Ketiga teori tersebut diintegrasikan dalam satu kerangka berpikir yang menekankan bahwa:

 

Inovasi teknologi (drone & geofisika) hanya efektif jika ditanamkan dalam sistem sosial-ekologis yang partisipatif;

 

Pengelolaan limbah harus berbasis data ilmiah dan sensitivitas lokal;

 

Pemberdayaan masyarakat menjadi kunci keberlanjutan inovasi lingkungan dan ekonomi, terutama di wilayah pesisir yang rentan.

 

Model yang diusulkan dalam artikel ini mendukung capaian SDGs (Sustainable Development Goals), prinsip ekonomi hijau dan biru, serta tata kelola kolaboratif dalam skema Hepta Helix sebagai operasionalisasi nyata dari grand theory tersebut.

 

Metodologi :

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan interdisipliner dan partisipatif yang menggabungkan metode kuantitatif (pengukuran geofisika dan pemetaan drone) serta kualitatif (wawancara, FGD, observasi lapangan) dalam satu kerangka riset terapan berbasis pemberdayaan masyarakat. Penelitian dilaksanakan di wilayah pesisir yang memiliki potensi limbah organik laut seperti cangkang kerang, kepah, dan tulang ikan, dengan fokus pada pengembangan teknologi tepat guna dan model kolaboratif pengelolaannya.

 

1. Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi : Desa pesisir yang aktif dalam aktivitas perikanan dan pengolahan hasil laut, seperti Desa Medang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.

 

Subjek : Peneliti geofisika, operator drone, pelaku UMKM lokal, perempuan pengupas kerang, tokoh desa, dan stakeholder lainnya (pemerintah desa, akademisi, pengusaha lokal).

 

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa pendekatan terintegrasi.

Pertama, dilakukan pemetaan udara menggunakan flying cam (drone) untuk memperoleh data spasial dan visual terkait sebaran limbah organik pesisir, seperti cangkang kerang, kepah, dan tulang ikan. Penggunaan drone ini memungkinkan pengambilan citra secara presisi dan real-time yang kemudian diolah menggunakan perangkat lunak fotogrametri dan sistem informasi geografis (SIG).

 

Kedua, untuk memperoleh data bawah permukaan, dilakukan survei geofisika dengan metode resistivitas dan Ground Penetrating Radar (GPR). Teknik ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik fisik dan geologi dangkal pada wilayah pesisir yang berpotensi sebagai lokasi akumulasi limbah atau tempat pengolahan berbasis kalsium.

 

Ketiga, dikumpulkan pula data sosial dan ekonomi melalui observasi langsung di lapangan, wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat dan pelaku usaha lokal, serta diskusi kelompok terfokus (FGD) bersama komunitas perempuan pesisir dan pengelola UMKM. Metode ini digunakan untuk menggali informasi terkait praktik lokal dalam pengelolaan limbah, persepsi masyarakat terhadap inovasi teknologi, serta peluang dan hambatan pemberdayaan.

 

Keempat, dilakukan pengambilan sampel limbah (tulang ikan, cangkang kerang, dan kepah) untuk dianalisis di laboratorium. Analisis ini bertujuan untuk mengukur kandungan kalsium karbonat (CaCO₃) dan kalsium fosfat (Ca₁₀(PO₄)₆(OH)₂) sebagai dasar pengembangan produk inovatif berbasis mineral lokal.

 

3. Teknik Analisis Data

Analisis spasial: Menggunakan software GIS (ArcGIS/QGIS) dan fotogrametri (DroneDeploy/Agisoft) untuk pemetaan distribusi limbah.

 

Analisis geofisika: Interpretasi data resistivitas dan GPR untuk mengetahui kedalaman dan potensi sebaran limbah mineral lokal.

 

Analisis laboratorium: Uji kuantitatif kandungan kalsium dengan metode titrasi kompleksometri dan spektrofotometri.

 

Analisis sosial: Koding tematik dan matriks SWOT dari wawancara dan FGD untuk menggambarkan persepsi masyarakat, tantangan, dan peluang pengelolaan limbah.

 

Sintesis model integratif: Penggabungan semua hasil ke dalam satu desain model tata kelola berbasis teknologi, partisipasi, dan kolaborasi multipihak (Hepta Helix).

 

4. Validasi dan Uji Coba

Model diuji coba secara terbatas dalam bentuk:

 

Demonstrasi teknologi drone & geofisika kepada masyarakat;

 

Pelatihan pengolahan limbah berbasis hasil laboratorium;

 

Simulasi kolaborasi antar-helix dengan menghadirkan unsur akademik, bisnis, pemerintah, dan komunitas dalam satu forum lokakarya desa.

 

5. Etika Penelitian

Seluruh proses dilaksanakan dengan persetujuan dan keterlibatan aktif masyarakat lokal. Peneliti memastikan prinsip partisipatif, transparan, dan non-eksploitatif, dengan menghormati kearifan lokal dan hak masyarakat atas data dan manfaat.

 

Bahan dan Peralatan :

 

Untuk mendukung proses penelitian yang bersifat multidisipliner ini, digunakan berbagai bahan dan peralatan yang mencakup bidang geospasial, geofisika, dan laboratorium kimia, serta alat bantu dalam kegiatan sosial-partisipatif masyarakat.

 

1. Bahan Penelitian:

Limbah organik pesisir:

Cangkang kerrang, Kepah,

Tulang ikan (khususnya ikan tamban, tongkol, dan kembung)

Reagen laboratorium:

Larutan EDTA (untuk analisis kalsium)

Buffer larutan pH

Indikator Eriochrome Black T

Aquades dan larutan standar Ca²⁺

Media dokumentasi dan pelatihan:

Kuesioner wawancara

Leaflet dan poster edukasi pengolahan limbah

Modul pelatihan teknologi tepat guna

 

2. Peralatan Penelitian:

A. Geospasial dan Drone:

 

Drone quadcopter dan/atau fixed-wing dengan kamera HD (misalnya DJI Phantom 4 Pro atau sejenis)

 

Kontroler dan tablet monitor penerbangan

Perangkat lunak pemrosesan citra: Agisoft Metashape, DroneDeploy, atau Pix4D

Komputer/laptop dengan spesifikasi tinggi untuk pengolahan data citra dan peta

 

B. Geofisika Terapan:

 

Alat Resistivitas Multi-Elektroda (misalnya ARES atau PASI)

Alat Ground Penetrating Radar (GPR) dengan antena frekuensi menengah

GPS Geodetik dan Kompas Geologi

Kabel elektroda, besi elektroda, palu, dan larutan garam untuk konektivitas tanah

 

C. Analisis Laboratorium:

 

Timbangan digital presisi

Oven pengering dan furnace (tanur pembakaran)

Mortar dan grinder (penggiling bahan kering)

Spektrofotometer UV-Vis atau AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer)

Gelas ukur, buret, pipet tetes, dan alat titrasi manual

 

D. Pendukung Lapangan dan Partisipasi Masyarakat:

 

Alat perekam suara dan kamera dokumentasi

Sound system portable untuk pelatihan luar ruang

Spanduk edukasi dan alat peraga visual

Buku catatan lapangan, papan tulis mini, dan ATK

Rencana Hasil dan Pembahasan

 

Dalam kajian ini, hasil dan pembahasan direncanakan untuk disajikan dalam beberapa bagian utama yang menggambarkan keterpaduan antara teknologi, data ilmiah, dan strategi pemberdayaan masyarakat. Hasil yang diperoleh akan dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya serta dianalisis secara kritis berdasarkan pendekatan transdisipliner dan lokalitas wilayah pesisir yang dikaji.

 

1. Hasil Pemetaan Spasial Limbah Pesisir Menggunakan Flying Cam

 

Hasil utama yang diharapkan adalah peta sebaran limbah organik pesisir (cangkang kerang, kepah, tulang ikan) berdasarkan dokumentasi visual drone. Citra drone akan digunakan untuk menunjukkan lokasi konsentrasi limbah tertinggi, potensi zona pengumpulan, serta analisis overlay dengan faktor lingkungan seperti pasang-surut, jarak ke pemukiman, dan akses jalan desa.

 

Analisis 1 :

 

Dibahas mengenai efektivitas flying cam sebagai alat pemetaan alternatif yang efisien, murah, dan akurat untuk mendukung perencanaan tata kelola limbah berbasis spasial di desa pesisir.

 

2. Hasil Survei Geofisika Terapan (Resistivitas dan GPR)

 

Survei ini akan menghasilkan data visual dan numerik terkait kondisi bawah permukaan (tanah, kandungan mineral, kelembapan, porositas) di lokasi-lokasi yang telah dipetakan oleh drone. Data resistivitas dan GPR akan menunjukkan kesesuaian lahan untuk pengolahan dan penyimpanan limbah berbasis kalsium.

 

Analisis 2 :

 

Bagaimana data geofisika digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan teknis dalam pengolahan limbah pesisir secara ilmiah, termasuk keunggulan penggunaan metode geofisika non-destruktif di lingkungan desa.

 

3. Hasil Analisis Kandungan Kalsium Limbah Organik

 

Analisis laboratorium akan menunjukkan kandungan CaCO₃ pada cangkang kerang dan kepah, serta Ca₁₀(PO₄)₆(OH)₂ pada tulang ikan. Kandungan ini menjadi dasar untuk pengembangan produk inovatif seperti pupuk granular kalsium, bio-material, atau bahan kerajinan fungsional.

 

Pembahasan 1 :

 

Dibahas potensi limbah laut sebagai sumber bahan baku alternatif yang selama ini terabaikan. Disandingkan pula dengan referensi hasil penelitian sebelumnya dan potensi pengembangannya di skala UMKM atau industri rumah tangga.

 

4. Hasil Partisipasi dan Persepsi Masyarakat Pesisir

 

Dari observasi, wawancara, dan FGD, akan diperoleh informasi tentang pengetahuan, sikap, dan praktik masyarakat dalam pengelolaan limbah organik, serta respons mereka terhadap teknologi flying cam dan konsep pemberdayaan berbasis sains.

 

Pembahasan 2 :

 

Dibahas pentingnya pendekatan partisipatif dalam memperkenalkan inovasi teknologi dan strategi pemberdayaan yang tidak sekadar teknis tetapi juga membangun rasa memiliki (ownership) dan keberlanjutan sosial.

 

5. Perumusan Model Tata Kelola Limbah Pesisir Berbasis Hepta Helix

 

Hasil integrasi seluruh data dan analisis digunakan untuk menyusun model tata kelola limbah pesisir berbasis data spasial, geofisika, teknologi drone, dan kolaborasi multipihak (Hepta Helix). Model ini akan divisualisasikan dalam bentuk diagram atau bagan alur yang menjelaskan hubungan antara aktor, proses, dan luaran.

 

Pembahasan 3 :

 

Dibahas bagaimana model ini dapat direplikasi atau dijadikan rujukan kebijakan dalam pengembangan desa pesisir berbasis ekonomi sirkular, zero waste, dan teknologi lokal. Disandingkan pula dengan tujuan SDGs, ekonomi biru, dan target pembangunan desa mandiri.

 

Penutup

 

Kesimpulan

 

Penelitian ini menunjukkan bahwa integrasi teknologi flying cam dan metode geofisika terapan dapat menjadi pendekatan inovatif dan solutif dalam tata kelola limbah pesisir berbasis potensi lokal. Limbah organik seperti cangkang kerang, kepah, dan tulang ikan memiliki kandungan kalsium tinggi yang dapat diolah menjadi produk bernilai tambah seperti pupuk granular, bio-material, atau suplemen pakan ternak. Dengan dukungan pemetaan spasial dari drone dan analisis bawah permukaan menggunakan resistivitas dan GPR, perencanaan pengelolaan limbah menjadi lebih ilmiah, efisien, dan terukur.

 

Lebih jauh, pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat pesisir – khususnya kelompok perempuan – serta penerapan model kolaborasi Hepta Helix menjadi kunci keberhasilan dalam membangun ekosistem inovasi lokal yang berkelanjutan. Kajian ini membuktikan bahwa perpaduan antara sains, teknologi, dan pemberdayaan sosial dapat mewujudkan desa pesisir yang mandiri, tangguh, dan berdaya saing dalam era ekonomi biru dan hijau.

 

Saran

 

Diperlukan pelatihan berkelanjutan bagi masyarakat dalam penggunaan drone, teknologi geofisika, dan pengolahan limbah agar transfer teknologi dapat berjalan optimal.

 

Institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset hendaknya memperluas kemitraan dengan desa-desa pesisir untuk memperkuat ekosistem riset terapan berbasis komunitas.

 

Diperlukan sistem monitoring dan evaluasi berbasis data spasial dan sosial secara periodik untuk memastikan keberlanjutan model pengelolaan limbah yang dibangun.

 

Rekomendasi

 

Bagi Pemerintah Desa dan Daerah: Adopsi model ini sebagai bagian dari program desa berbasis inovasi dan ekonomi sirkular, serta alokasikan anggaran untuk infrastruktur pengolahan limbah dan edukasi teknologi.

 

Bagi Akademisi dan Peneliti: Lanjutkan penelitian ini ke tahap hilirisasi produk dan standarisasi proses produksi bahan berbasis kalsium dari limbah laut agar memiliki nilai jual dan legalitas yang kuat.

 

Bagi Dunia Usaha dan Investor Sosial: Dukung pengembangan UMKM pesisir berbasis limbah laut melalui inkubasi usaha, CSR, dan kemitraan produksi yang menguntungkan semua pihak.

 

Bagi Lembaga Keuangan dan Filantropi: Fasilitasi akses permodalan mikro dan pendampingan keuangan bagi komunitas pesisir dalam mengembangkan produk dari limbah sebagai sumber penghidupan baru.(ms2)



Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak