Oleh :
Researcher :
Harliansyah, Ph.D Pusat Penelitian Telomer, Longevity & Stres Oksidatif Universitas YARSI, Jakarta Pusat, e-mail: harliansyah.hanif@yarsi.ac.id
Editor :
KH. Dr. Muhammad Sontang Sihotang S.Si, M.Si*.(Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, Prodi Fisika, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Peneliti Pusat Unggulan Ipteks Karbon & Kemenyan-Universitas Sumatera Utara (USU)-Medan, Mantan Wartawan / Kolumnis / Reporter, Kepala Biro dan Wilayah, Wakil Pemimpin Redaksi, Wakil Pimpinan Umum : dahulu & sekarang @ Tabloid Suara USU-Medan, Tabloid Bintang Sport Film (BSF)-Medan, Garuda-Harian Sore-Medan,Waspada-Medan,Tabloid Duta Bangsa- Jakarta, Dayak News - Palangkaraya, Kalimantan Tengah, GarudaNews - Medan, Portal Medan-Medan, Mabesnews-Jakarta,WasantaraNews-Medan,KomandoTopNews-Medan, Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), d/h Salemba, Jakarta Pusat, Tahun 1996 s.d 2000.
Sekapur
Sirih,
Pada tahun 2045 akan menjadi momen yang sangat penting bagi Indonesia. Selain memperingati 100 tahun kemerdekaan, Indonesia akan menghadapi realita baru: jumlah lansia (usia 60 tahun ke atas) diperkirakan akan mencapai lebih dari 20% dari total penduduk. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2023 saja, persentase penduduk lansia di Indonesia sudah mencapai 11,75% dan terus meningkat setiap tahunnya (Badan Pusat Statistik, 2023). Tren ini sejalan dengan proyeksi global dari United Nations yang memperkirakan bahwa satu dari lima orang Indonesia akan menjadi lansia pada 2045 (United Nations, 2019). Pertanyaannya, apakah kita siap menghadapi perubahan demografis besar ini?
Salah satu pernyataan yang sering terdengar adalah, "Tua Itu Pasti, Sehat Itu Pilihan." Meningkatnya jumlah lansia merupakan indikator kemajuan layanan kesehatan yang memungkinkan masyarakat hidup lebih lama (World Health Organization, 2015). Namun, tantangan muncul ketika kualitas hidup di masa tua tidak sebaik yang diharapkan. Banyak lansia di Indonesia yang menghadapi berbagai penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung, hingga demensia (Kusumastuti et al., 2018). Selain itu, sebagian lansia mengalami keterbatasan fisik dan mental yang menyebabkan ketergantungan pada keluarga atau pengasuh. Dalam konteks ini, peran terapi okupasi sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup mereka (American Occupational Therapy Association, 2014).
Peran Terapi Okupasi dalam Meningkatkan Kemandirian Lansia
Terapi okupasi berfokus pada peningkatan kemampuan fungsional dan kualitas hidup individu melalui pelatihan aktivitas sehari-hari yang bermakna (American Occupational Therapy Association, 2014). Bagi lansia, terapi okupasi membantu memelihara kemandirian, baik dalam aspek fisik, mental, maupun sosial (Law et al., 1996). Pendekatan berbasis aktivitas memungkinkan lansia tetap aktif secara fisik dan mental serta memperbaiki keterampilan yang mungkin menurun seiring bertambahnya usia. Terapi ini terbukti efektif untuk lansia dengan penyakit kronis seperti stroke, demensia, atau arthritis, dengan membantu mengurangi nyeri, meningkatkan mobilitas, dan menurunkan kecemasan (Arifin et al., 2020; Graff et al., 2006).
Lebih jauh lagi, terapi okupasi juga berperan penting bagi lansia yang mengalami keterbatasan kognitif, seperti demensia, dengan menyediakan cara untuk tetap berkomunikasi dan berinteraksi secara bermakna dengan lingkungan mereka. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi ketergantungan pada orang lain (Graff et al., 2006).
Peluang Emas di Balik Penuaan
Meski tantangannya besar, penuaan penduduk Indonesia membawa peluang besar bagi negara ini. Indonesia masih berada dalam masa bonus demografi, di mana penduduk usia produktif mendominasi (Bappenas, 2018). Artinya, saat ini adalah momen yang tepat untuk membangun sistem kesehatan dan perlindungan sosial yang memadai bagi masa tua. Investasi di sektor kesehatan dan sosial, termasuk terapi okupasi, akan menjadi tabungan jangka panjang yang bermanfaat untuk masa depan lansia Indonesia (Bloom et al., 2015).
Selain itu, kemajuan teknologi juga membuka peluang baru dalam perawatan lansia. Teknologi seperti telemedisin, alat pengukur tekanan darah digital, dan aplikasi kesehatan kini semakin mudah diakses oleh masyarakat (Setiawan et al., 2021). Bahkan, perangkat digital dapat mendukung terapi okupasi dengan menyediakan latihan keterampilan motorik halus dan kasar yang dapat dilakukan lansia dari rumah mereka (Tsertsidis et al., 2019).
Agar benar-benar siap menghadapi tahun 2045, Indonesia membutuhkan strategi besar dalam merencanakan layanan kesehatan lansia. Pemerintah perlu memperkuat layanan kesehatan primer, melatih tenaga kesehatan dengan keterampilan geriatri, serta memastikan sistem jaminan sosial untuk melindungi lansia yang miskin dan rentan (Kementerian Kesehatan RI, 2020). Selain itu, terapi okupasi perlu diperkenalkan lebih luas, baik di fasilitas kesehatan maupun di tingkat komunitas, untuk membantu lansia menjaga kemandirian mereka (American Occupational Therapy Association, 2014).
Masyarakat juga berperan penting dengan membiasakan gaya hidup sehat sejak muda, peduli terhadap kebutuhan orang tua, serta mendorong lingkungan yang inklusif dan ramah usia. Lingkungan yang mendukung tidak hanya menyediakan aksesibilitas fisik yang baik tetapi juga kesempatan bagi lansia untuk tetap aktif berpartisipasi dalam kehidupan sosial, yang dapat didukung oleh terapi okupasi (World Health Organization, 2007; Menec et al., 2011).
Kesimpulan
Penuaan penduduk bukanlah akhir dari cerita, melainkan dapat menjadi awal dari Indonesia yang lebih bijak, inklusif, dan peduli terhadap lansia. Terapi okupasi memainkan peran penting dalam memastikan bahwa lansia tidak hanya hidup lebih lama, tetapi juga bahagia, bermakna, dan berdaya (Law et al., 1996; American Occupational Therapy Association, 2014). Menuju Indonesia Emas 2045, kita harus memastikan bahwa lansia dapat meraih kualitas hidup yang lebih baik melalui dukungan layanan kesehatan dan sosial yang berbasis pada kemandirian mereka.
Daftar Pustaka
- Badan Pusat Statistik. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2023. Jakarta: BPS; 2023.
- United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division. World Population Ageing 2019: Highlights. New York: United Nations; 2019.
- World Health Organization. World Report on Ageing and Health. Geneva: WHO; 2015.
- Kusumastuti S, Dermawan R, Munaratih E, et al. The Problems of Indonesia’s Ageing Population. Ageing International. 2018;43(3):317-327.
- American Occupational Therapy Association. Occupational Therapy Practice Framework: Domain and Process (3rd ed.). Am J Occup Ther. 2014;68(Suppl 1):S1-S48.
- Law M, Cooper B, Strong S, Stewart D, Rigby P, Letts L. The Person-Environment-Occupation Model: A Transactive Approach to Occupational Performance. Canadian Journal of Occupational Therapy. 1996;63(1):9-23.
- Arifin H, Rachmawati IN, Putri SW. Occupational Therapy for Elderly in Indonesia: Current Status and Future Challenges. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2020;16(1):45-52.
- Graff MJL, Vernooij-Dassen MJM, Thijssen M, et al. Community occupational therapy for older patients with dementia and their care givers: randomized controlled trial. BMJ. 2006;333(7580):1196.
- Bappenas. Indonesia’s Demographic Bonus: Opportunities and Challenges. Jakarta: Bappenas; 2018.
- Bloom DE, Canning D, Lubet A. Global Population Aging: Facts, Challenges, Solutions & Perspectives. Daedalus. 2015;144(2):80-92.
- Setiawan A, Santoso AS, Suryono RR. The Use of Digital Health Technology in Elderly Care: A Review. Jurnal Teknologi dan Sistem Komputer. 2021;9(2):89-97.
- Tsertsidis A, Kolkowska E, Hedström K. Factors influencing seniors’ acceptance of technology for ageing in place: A review. Computers in Human Behavior Reports. 2019;1:100005.
- Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2020. Jakarta: Kemenkes RI; 2020.
- World Health Organization. Global Age-friendly Cities: A Guide. Geneva: WHO; 2007.
- Menec VH, Means R, Keating N, Parkhurst G, Eales J. Conceptualizing Age-Friendly Communities. Canadian Journal on Aging. 2011;30(3):479-493.